Pernah membeli suatu barang yang datang dari luar negeri dengan harga murah? Akan tetapi pas dicek di negara asalnya malah jauh lebih mahal daripada yang ada di negara kita?
Jangan heran! Fenomena ini sudah tak aneh lagi di dunia penjualan internasional. Bahkan saking lazimnya memiliki sebutan tersendiri, yaitu Politik Dumping.
Tujuannya sendiri cukup terarah, yaitu demi meningkatkan pangsa pasar di luar negeri dengan mengusir persaingan, sehingga menciptakan situasi monopoli di mana para eksportir akan dapat secara sepihak mendikte harga dan kualitas produk mereka.
Meskipun terdengar santer, akan tetapi masyarakat di Indonesia nampak kurang begitu ngeh akan fenomena dan tujuan produk import yang dijual di negara sendiri, yang padahal akan berubah bencana jika rencana politik dumping tersebut berhasil mereka dapatkan.
Sebut saja HP Xiaomi yang harganya dibanting secara gila-gilaan, sehingga membuatnya menjadi salah satu merk handphone paling diburu oleh berbagai macam kalangan di Indonesia.
Padahal, mereka semata-mata menjalankan politik Dumping yang – jika misalnya – beberapa saingan gulung tikar dan minggat dari Indonesia, maka mereka akan langsung memonopoli negara kita di dalam sektor teknologi tipe smartphone.
Secara keseluruhan, praktek ini tentunya dianggap tidak adil karena dapat merusak harga pasar dan merugikan produsen baik dalam maupun luar negeri yang mencoba menjual barang mereka dengan harga standar.
Keuntungan terbesar politik dumping kepada para pelakunya adalah kemampuannya dalam menargetkan brand awareness secara lebih cepat.
Mereka berpikir daripada harus membayar biaya iklan yang sama mahalnya, akan lebih baik dengan menggunakan strategi dumping tersebut, yang mana membuat para pembelinya secara sadar ataupun tak sadar menjadi bagian dari buzzer mereka secara gratis.
Namun selain dari tujuan predatory tersebut, ada pula 2 jenis dumping lainnya yang berupa sporadic dan persistent.
Sporadic sendiri merupakan praktek politik dumping demi mengurangi stok produk dalam negeri yang sudah menggunung, sehingga dijual di luar negeri dengan harga jauh lebih murah dalam waktu singkat. Sementara persistent dilakukan secara berkelanjutan untuk mendapatkan lirikan masyarakat dalam jangka panjang.
Dari ketiga kategori tersebut, tentunya predatory menjadi yang paling berbahaya karena memang ditujukan untuk merusak pasaran dan menjatuhkan persaingan secara tak bermoral.